Selasa, 18 September 2007

Sajadah Iblis

Ketika Iblis membentangkan sajadah, siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di masjid. Kebetulan hari itu Jum'at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk & masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air.

Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.
"Hai, Blis!", panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu. Iblis merasa terusik.
"Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang- larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!", jawab Iblis ketus.
"Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci,Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!", Kiai mencoba mengusir.
"Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru". Kiai tercenung. "Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu".
"Dengan apa?"
"Dengan sajadah!"
"Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?"
"Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!"
"Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?"
"Bukan itu saja Kiai..."
"Lalu?"
"Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar- lebar"
"Untuk apa?"
"Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai! Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah".

Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.
Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
"Nah, lihat itu Kiai!", Iblis memulai dialog lagi.
"Yang mana?"
"Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka".

Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf. Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya. Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.

Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.

Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa.

Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.
"Astaghfirullahal adziiiim ", ujar sang Kiai pelan

kiriman seorang teman di milisnya FMIPA UAI

Sang pembaharu

Negeri Arab, saat itu adalah negeri yang penuh dengan kejahiliyahan. Ketimpangan status sosial, pelecehan wanita, perjudian dan kebobrokan moral lainnya berkembang di seluruh masyarakat Arab. Siapa yang kaya dialah yang berkuasa, siapa yang kuat dialah yang memerintah, tidak ada tempat bagi mereka yang lemah dan miskin. Namun, di saat itulah Allah mengutus Nabi Muhammad untuk menjadi tauladan yang mulia bagi umat Islam dan dunia. Sungguh tidak ada nabi yang mengalami kondisi sekritis itu, selain Nabi Muhammad saw.
Sedikit demi sedikit Rasulullah membina umat, mulai dari kerabat terdekat hingga secara terang-terangan ke seluruh kaum Quraisy. Tetapi yang Beliau terima justru hinaan, cemohan, dan makian yang tiada henti. Para sahabat yang mendukung perjuangannya pun mendapatkan perlakuan yang tidak berbeda. Ancaman, fitnah, dan penyiksaan menjadi bumbu keseharian hidup Beliau. Namun semua itu Beliau hadapi dengan senyum dan do’a yang memohonkan kebaikan bagi mereka yang memusuhinya. Tidak ada sakit hati apalagi dendam yang merasuki hati Rasulullah, justru cinta dan kasih sayang Beliau menjadi semakin besar dan tak terbatas.
Peristiwa Thaif dan perang Uhud menjadi saksi bagaimana cinta Rasulullah yang sangat besar kepada umatnya, tawaran Jibril untuk mengazab kaum Thaif dengan himpitan gunung ketika seluruh tubuh Rasulullah dan para sahabat berdarah akibat dilempari batu oleh kaum Thaif hanya dibalas senyum dan do,a, “Ya Allah berilah kaumku hidayah, sebab mereka belum tahu.”Do’a ini pula yang Beliau ucapkan untuk pasukan panah yang diperintahkan untuk menjaga bukit pada perang uhud. Kemenangan yang sudah di depan mata berubah jadi kekalahan yang menyakitkan dan patahnya gigi Rasulullah terkena panah musuh, hanya karena pasukan pemanah terjangkit cinta dunia hingga meninggalkan bukit dan porak-poranda berebut harta rampasan perang.
Itulah sedikit gambaran dari seorang pembaharu sejati, Nabi Muhammad SAW, seorang pria buta huruf yang mampu merubah negeri Arab dan dunia hanya dalam waktu 23 tahun masa kenabiannya. Negeri Arab yang dilanda masa kejahiliyahan diperbaharui dengan sentuhan akhlak yang mulia hingga seluruh adat dan perilaku mereka yang sesat tersebut terhapus sama sekali. Bahkan Rasulullah berhasil memperbaharui kedudukan kaum wanita, yang semula saat itu sangat rendah di kalangan masyarakat Arab dan selalu dianggap hina hingga disamakan dengan barang dagangan. Sebelum kedatangan Islam, tidak ada yang memuliakan kedudukan wanita seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Hanya Islam yang memberikan kedudukan istimewa kepada kaum wanita dengan memberikan hak yang sama sebagaimana kaum pria, “ para wanita mempunyai hak-hak tertentu atas lelaki sebagaimana lelaki mempunyai hak-hak tertentu atas wanita”. Bahkan Allah pun mengankat derajat wanita dengan memerintahkan para wanita menutup aurat mereka, tidak lain adalah agar mereka tidak dilecehkan dan tidak mengundang nafsu bagi laki-laki yang melihat mereka. Sungguh, Rasulullah adalah seorang pembaharu yang mampu mengubah kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan yang penuh dengan rahmat.
Tetapi apa yang saat ini terjadi justru banyak dari kita yang merusak perjuangan dan jerih payah Rasulullah dengan kembali pada kehidupan jahiliyah itu. Sungguh yang terjadi saat ini adalah kemerosotan moral yang teramat jauh dari masa Rasulullah dahulu. Di mana umat yang terbaik dahulu telah menorehkan tinta emas sejarah tentang bagaimana indah dan mulianya ajaran Islam. Tetapi kini kita justru mencoreng sendiri kemuliaan Islam itu dengan segala tingkah laku kita yang tak lagi bercermin pada tauladan Rasululah dan perintah Al-Qu’an. Jadi siapakah yang harus disaahkan sekarang ini, apakah ajaran Islam yang telah terbukti kemuliaannya ataukah kita, manusia yang bodoh dan hina ini?

Wallahu A’lam Bishowwab

Tarbiyah sebagai terminal dakwah

Kita pasti pernah mengunjungi terminal bus kota. Apa pemandangan umum yang terlihat? Kondisi semrawut, ketidakjelasan aturan dan banyaknya bus angkutan yang enggan masuk terminal. Akibatnya, sebagian penumpang tidak ingin berlama-lama ada di dalam terminal, atau bahkan sebagiannya lagi lebih suka menunggu angkutan di luar terminal.

Ini adalah pemandangan umum terminal bus di negeri kita. Bisa jadi di tempat lain kondisinya jauh lebih baik. Namun begitu, sesungguhnya terminal memiliki sejumlah fungsi penting bagi system transportasi angkutan umum. Mari kita beberapa di antaranya:
Pertama, terminal berfungsi untuk menata semua kendaraan angkutan. Sehingga jelas jalur barisan dan arah tujuannya.
Kedua, untuk melakukan persiapan dan pemeriksaan kondisi kendaraan, sehingga bisa dipastikan dalam keadaan baik. Bagaimana tekanan angina, air radiator, atau membersihkan kotoran yang ada di dalam kendaraan.
Ketiga, untuk saling bertukar informasi dan pengalaman antar para pengemudi tentang berbagai hal. Bahkan banyak masalah yang dihadapi bisa teratasi dengan cara seperti ini.
Keempat, sebagai tempat bagi pengemudi dan kendaraannya beristirahat, menormalisir kondisi setelah melewati jalan-jalan panjang yang penuh liku-liku.

Tarbiyah, dengan holaqoh-holaqohnya, bisa dianalogikan seperti terminal bagi para kader dakwah. Sebagai kader yang siap mengemban amanah dakwah mengajak manusia ke jalan Islam –sebagaimana bus angkutan keluar terminal mengangkut para penumpang ke tujuan yang ditetapkan– mereka membutuhkan holaqoh-holaqoh tarbawiyah yang berfungsi sebagaimana terminal. Holaqoh tarbawiyah berfungsi menata shaf para kadernya sehingga seperti al-bunyan al-marshush. Holaqoh menjadi tempat melakukan persiapan dan pemeriksaan kondisi ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah para kader sebelum berangkat ke medan dakwah. Juga menjadi tempat bertukar informasi dan berbagi pengalaman dakwah, karena informasi adalah jendela kehidupan dan pengalaman adalah guru terbaiknya. Serta di holaqoh tarbawiyah inilah, mereka beristirahat, me-recovery kondisi diri setelah melewati jalan-jalan dakwah, dengan berbagai rintangan, ujian dan juga aneka kenikmatannya.

Di dalam holaqoh tarbawiyah –sebagaimana juga terminal– ada kepala terminal yang bertugas memberikan arahan atau taujihat, teguran atau tadzkirah dan bahkan sanksi atau ‘uqubah. Keta’atan kepada murobbi dan kepala terminal –yang didasari kesadaran, pemahaman dan cita-cita bersama– mutlak diperlukan bagi terbangunnya kondisi holaqoh atau terminal yang baik, tertib dan nyaman. Pada sisi lain, terbangunnya hubungan persaudaraan atau ukhuwah dan semangat bekerjasama atau ‘amal jama’i akan menjadikan aktivitas di dalam terminal itu ringan, menyenangkan dan produktif. Kader atau mutarobbi yang baik adalah mereka yang disiplin masuk-keluar holaqoh. Sebagaimana pengemudi angkutan yang baik adalah yang disiplin masuk-keluar terminal. Artinya, kesibukan dakwah di lapangan tidak melalaikan setiap kader untuk masuk kembali ke terminal, dan baru keluar ke medan dakwah kembali setelah melewati proses penataan ulang, pembekalan, pemeriksaan dan penyegaran di holaqoh tarbawiyah. Pada saat yang sama, murobbi yang baik –sebagaimana kepala terminal yang baik– adalah mereka yang selalu stand-by di holaqoh menyambut kehadiran para mutarobbinya, untuk kemudian menjalankan peran atau fungsi tarbiyah secara optimal.

Tahukah kita penyebab pokok semrawutnya kondisi terminal di negeri kita ini? Banyak sebab, diantaranya adalah sebagian pengemudi angkutan lebih suka berkeliaran di jalanan mengangkut sebanyak-banyaknya. Tetapi pada saat yang sama enggan masuk terminal, karena merasa akan terikat dengan berbagai aturan. Juga di dalam terminal tidak tersedia aturan-aturan yang jelas dan tegas, serta tidak terjalinnya hubungan antar manusia yang baik. Sebab berikutnya adalah seringkali kepala terminal tidak berada pada tempat tugasnya, atau kalaupun ada tetapi tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.

Era jahriyah-jamajiriyah membuka peluang sangat luas dan besar bagi penerimaan dakwah dari berbagai kalangan masyarakat. Kondisi ini memang harus direspon dengan baik oleh para kader dakwah. Namun yang harus diperhatikan, jangan sampai keasyikan kita merespon peluang dakwah lalu menyibukkan dan melalaikan kita dari tugas untuk masuk kembali ke holaqoh tarbawiyah, sebagai terminal dakwah.

Atas alasan apapun, melalaikan atau menomor-duakan tarbiyah merupakan kesalahan fatal. Kalau itu berlangsung terus-menerus dan tidak terobati, maka akan menimbulkan penyakit infirodi atau single-fighter dalam dakwah. Ini adalah sumber dari berbagai penyakit dakwah lainnya. Bahkan dalam banyak kasus, kader yang terjangkiti penyakit infirodi seringkali menjadi sandungan atau bahkan ancaman bagi keberlangsungan dakwah yang manhajiyah. Bila kader semacam ini memiliki pengaruh kuat pada orang-orang sekitarnya, ia bisa menjelma menjadi kantong-kantong kekuatan baru di dalam jama’ah dakwah. Sesuatu yang oleh ust. Fathi Yakan disebut sebagai virus yang bisa memporak-porandakan tanzhim dakwah. Demikianlah, tarbiyah –dengan holaqohnya– adalah terminal dakwah bagi para kader. Disiplin dalam masuk-keluar terminal, disiplin dalam mengikuti proses dan program di dalamnya, serta semangat kuat dalam membangun hubungan yang baik dengan semua pihak di dalamnya, menjadi kunci kesuksesan dakwah para kader. Insya Allah